Jumat, Februari 17, 2012

So Much Happened Before Dorothy Dropped In.


And yes, so much have been happening after I’ve known this musical: WICKED!


~~~~~~


Semua kegilaan gue akan teater musikal ini bermula dari menonton salah satu serial paling happening saat itu (dan masih sampe saat ini): Glee. Salah satu adegan nyanyi yang dilakukan dua tokoh utama dalam serial itu, yang mana menjadi lagu paling favorit karena lagunya yang (menurut gue) simple tapi keren, yaitu Defying Gravity, menjadi cikal bakal dari segalanya. Entah kenapa bisa jatuh cinta banget sama itu lagu. Seperti ada sesuatu yang mengikat, atau seperti menjadi suatu pertanda, tapi entah pertanda apa.

Usut punya usut, ternyata lagu itu merupakan salah satu lagu dari salah satu musikal Broadway: Wicked, yang katanya merupakan musikal yang udah memasuki level LEGEN…. wait for it…… DARRYYYY! Gue yang tidak tahu menahu tentang apa itu Wicked apalagi ke-kerenan-nya itu, menjadi semacam makhluk yang: “ya sudah lah ya. Yang penting gue seneng ama lagu ini.

Oh ya, seperti yang gue bilang tadi, kalo lagu ini seperti ada sesuatu, nah itu berlanjut ke obrolan intim bersama salah satu teman yang juga penyuka lagu ini dan musikal. Dari obrolan itu, timbul perasaan yang “wah”, tapi yaa biasa aja. Ga (ato belum) terkagum-kagum banget. Pada akhirnya seiring obrolan selesai, kekaguman akan musikal Wicked perihal lagu itu pun menguap dan menjadi: “ya sudah lah ya. Versi Glee itu udah keren banget.

Seperti ikatan yang tak bisa dideskripsikan, walopun gue-agak-menjadi-makhluk-yang-cuek tentang bagaimana dan apa itu musikal yang melahirkan lagu sekeren Defying Gravity itu, ditambah dengan kompor temen gue yang bilang “Tapi tapi tapi versi Wicked aslinya lebih keren…”, yasudah. Gue memutuskan untuk melirik ke yutub. Setelah melihat, gue menjadi….”Keren.” Dan pada akhirnya tetep sih, menjadi: “Ah yang Glee tetep keren.” -àminta ditabok ga sih ini orang.

Sampai pada akhirnya, sodara-sodara, salah satu teman yang itu tuh, yang mengadakan obrolan tentang musikal itu, memberitahu bahwa pertunjukkan teater LSPR (London School Public Relation, red.) tahun ini yaitu Wicked, sodara-sodara. Nah entah kenapa, gue seneng banget dan rasa ini tak bisa kalo melewatkan begitu saja. -- Oiya, jadi begini. LSPR itu tiap tahunnya emang ngadain pertunjukkan musikal adaptasi Broadway gitu. Gue yang saat itu notabene penyuka musikal dasar (musikal-level-film) itu pun selalu ngerasa excited kalo denger ajakan temen gue untuk menonton LSPR itu. Seperti taun kemaren mereka mementaskan Les Miserable. Nah itu gue udah mau nonton, tapi entah kenapa ga jadi. Nyesel sih. Nyesel, men. -- Nah balik ke pengumuman Wicked. Gue berjanji tak akan melewatkan mereka lagi, dan ini Wicked. Ini Defying Gravity yang gue kenal menawan itu. Gue harus nonton! Dan pada akhirnya…..dengan modal duit yang baru dikasih bapake….dengan modal agak melawan ortu karena pasti ini akan membuat gue pulang larut dan tak ada teman pulang….intinya, dengan modal nekat dan kurangnya restu dari ortu, gue berangkat. Yeah!

Pertunjukkan pun dimulai. Masih terkagum-kagum sama anak-anak mahasiswa LSPR ini yang “kok bisa ya” membuat teater musikal Broadway paling megah di abad ini. Walopun ruang pertunjukkan kecil, sempit, dan kursi penonton yang sangat eksklusif (baca: sangat dikit), mereka membangun Broadway, Wicked, di salah satu gedung di jalan Sudirman Jakarta ini.

Pertunjukkan pun dimulai. Yaampun ya bok…dari awal tirai dibuka aja udah cling-cling aja gitu panggungnya. Tata pencahayaan dan musiknya. Udah ga ngerti lagi gimana klimaks ceritanya yang terkenal “wahhh” itu. Dan di gedung ini, saya benar-benar disadarkan bahwa musikal ini memang benar-benar musikal yang tidak boleh dipandang sebelah mata belaka. Terkagum-kagum ampe merinding dewa dan sempat mengucurkan air mata --bukan karena ceritanya yang sedih, tapi karena saking kerennya-- terutama pas adegan penutup part I: Defying Gravity. Oh tidak tidak tidak sanggup. Itu adegan dimana Elphaba, salah satu tokoh utama si penyihir ijo, benar-benar terbang dan meluapkan emosinya yang aduhay ke penjuru Oz. dan lagunyaaaaa…oh tidak….

Kalo yang Glee itu udah gue anggep keren, ini jauh jauh jauh lebih keren. Ampe merinding dan nangis gara-gara tu lagu dan adegan…padahal terbangnya ampe mentok langit-langit yang-harusnya-mengurangi-kesan-awesomeness-nya… gimana cobak ceritanya…. Yaaah intinya: luar biasa! Dari karakter, kostum, tata panggung, lighting, cerita, nilai yang dipetik, dan terutama musik dan lagunya, itu semacam konspirasi yang bersatu untuk merubuhkan kemonotonan dunia fana.

Dari situ, rasa cinta akan musikal itu sangat menggebu-gebu. Rasa ini begitu indah. Kamu tahu? Kamu tidak akan pernah tahu, karena kamu bukanlah diri saya ini. Hueee.

Kisah pun berlanjut. Karena musikal ini, akhirnya, untuk pertama kalinya dalam hidup gue, terbang ke negara tetangga: Singapura. Kenapa bisa begini? Jadi begini, gue tahu Singapur itu memang salah satu negara yang dijadikan tujuan pertunjukkan orang-orang Broadway untuk mengadakan tur dunia. Seperti misalnya, tahun kemaren saja mereka nampilin musikal The Lion King. Dan itu salah satu penyebab gue megap-megap ga rela gara-gara ga bisa nonton, dan hanya mendengar salah satu kesan teman yang nonton itu yang tak henti bilang: “keren gila” Fine!!! Dari situ, perasaan gue udah ga enak nih. Yaaahhh namanya juga ikatan ya… akhirnya gue coba browsing-browsing tentang apa yang akan Broadway bawa ke Singapur ini setelah The Lion King ini selesai. Dan insting serta perasaan gue ternyata memang benar adanya. Wicked dijadwalkan tampil setelah The Lion King selesai. OOHH SWEET OZ!! Udah ga ngerti lagi pas ngeliat itu pengumuman di layar monitor. Udah nahan napas ga percaya ato mungkin lemes tak bertenaga dan lupa akan dunia sekitar untuk sesaat. RASA INI BEGITU INDAH!!

Dan Alhamdulillah, rejeki itu selalu ada. Gue diberi kesempatan untuk terbang kesana dan menonton sesuatu yang lebih baik dari Lion King: WICKED!! LANGSUNG DARI BROADWAY CAST!! Jadi perjuangan gue kerja-tiga-bulanan di salah satu perusahaan penerbangan Indonesia saat liburan semester genap tahun lalu itu gue abadikan untuk menonton “kekasih” gue di negeri orang itu. Memang perjuangan yang tak ringan, tapi semua terasa sangat ikhlas karena gue tahu kesempatan musikal semegah itu, walopun di negeri orang, tapi itu tempat terdekat yang bisa gue capai untuk menonton kualitas Broadway langsung.

Setelah melewatkan semuanya, pertunjukkan pun di depan mata. Tapi sayang… sayang seribu sayang… dengan gedung pertunjukkan yang besar, tidak seperti gedung yang saya tonton sebelumnya, posisi duduk kami yang paling belakang menjadi penyebab utama pengilhaman akan pemain-pemain di panggung itu sangat terbatas. Jadinya kami tak bisa melihat secara jelas mimik atau ekspresi mereka yang menjadi kunci utama play yang sangat menguras emosi ini. Sangat berbeda dengan LSPR. Disini jauh lebih megah dan wah dan mewah. Tentu saja…Broadway… Tapi disini juga, gue tidak bisa melihat langsung muka centil Glinda ato kemarahan Elphaba. Semua terasa sangat kosong di Grand Theater saat itu. Alhasil, penghayatan secara maksimal hanya bisa dilakukan melalui audio yang menakjubkan dan pencahayaan yang terlihat mentereng di depan mata sana. Ironis apabila gue mengatakan jauh lebih berkesan dengan LSPR dibanding Broadway. Tapi begitulah kenyataannya. Logikanya begini, ruang yang sempit membuat pengilhaman gue akan pemain dan segala tetek bengeknya menjadi semakin dekat. Wong jelas, di beberapa adegan aja para pemain munculnya dari bangku penonton. Jalan di samping gue, nyanyi dengan suara-suara bertalenta tinggi yang..…tak bisa dideskripsikan, gimana gue ga “anjrit anjrit”. Dan yang paling penting, mengapa menjadi sangat berkesan, karena LSPR merupakan pengalaman gue yang pertama. PERTAMA. Jadi kesannya mata gue yang tadinya ga tahu apa-apa itu dibuka. Kalo yang di Singapur ini kan udah kedua kalinya nonton, dan gue udah apal semua lagu-lagunya dan sebagian besar dialognya, dan yang jelas ceritanya, jadi efek surprising-nya itu jadi kurang berkesan walopun efek-efek teknologinya dan pemain-pemainnya jauh lebih canggih dan wow disana, ya karena udah tahu gimana gimana dan apa yang selanjutnya terjadi. Emang bener kata orang-orang, pengalaman pertama itu ga bisa tergantikan.

Alhasil, dengan sedikit rasa tidak puas, tetap saja gue merasa sangat bersyukur bisa dikasih kesempatan mendapatkan pengalaman Broadway langsung untuk pertama kalinya. Sepulangnya dari sana juga gue selalu berdoa dan berharap agar selalu diberi kesempatan untuk menonton lagi lagi dan lagi. Kalo bisa, balik ke negeri itu lagi sebelum itu pertunjukkan sampai pada masa penutupan, dan mendapatkan tiket dengan tempat duduk yang lebih depan. Amin.


Impian pun terkadang tak hanya berhenti disana. Dari musikal ini, gue menyadari bahwa kepuasan mutlak tidak hanya berasal dari mengkonsumsi karya besar seperti itu saja, tapi menjadi bagian dari proses produksinya. Agak gila dan sangat tidak mungkin, mungkin. Tapi itulah yang selalu menghantui pikiran gue selama ini, selama mengenal karya luar biasa ini. Paling tidak, menjadi orang di balik panggung atau semacamnya. Atau mungkin kru pengangkut property juga gue terima. Yang penting masuk ke dalam produksi itu. Orang harus punya mimpi bukan? Ya. Gue pun begitu. Dengan itu gue punya motivasi tersendiri untuk hidup. Klise memang. Tapi itu kenyataan. Walopun pada waktunya nanti itu tak pernah terwujud, tapi banggalah akan mimpi yang telah memotivasi langkah hidupmu itu.


Jadi, bagaimana? Apa mimpi kamu?




Just note: “Everyone deserves the chance to fly!” –Wicked regard from Elphaba Thropp, the Wicked Witch of the West.