Sabtu, Desember 27, 2014

Back To The Old Passion: Movie!

Sudah lama sekali tidak menggeluti seluk beluk dunia perfilman. Yah... kalo diitung-itung semenjak gue meninggalkan bangku kuliah dan dunia pendidikan.
Sekarang waktu udah berubah. Isinya cuma memenuhi kebutuhan materialistis individu. Berangkat Pagi pulang pagi (eh salah) pulang malem (kalo yang kerja di Jakarta). Khusus gue, berangkat pagi, pulang maghrib (Ceritanya sombong. Tapi bukannya maghrib masuk kategori  malam juga? Be my guest.).
Tetep aja cyin... ga pulang larut, hidup gue ini pun tetap hampa. Ga kek dulu yang terbiasa mencari hal-hal yang bisa memperkaya wawasan kita di waktu luang akan dunia keren di luar sana. Ini yahh...sampe rumah cepet aja udah syukur. Ga mikir macem-macem. Cari hiburan juga seadanya. Mantengin India hasil pembajakan tipi rumah oleh mamake pun jadi.
Hidup makin tua udah makin plain. Ga neko-neko. Kalo kata mamake cepet-cepet cari pacar terus nikah punya anak. Mungkin biar ga hambar.
Hap!!

Sudah cukup curhatnya.

Jadi gue kadang masih menyempatkan memanjakan diri beli majalah film seperti jaman dulu muda.
Nah di satu majalah yang gua baca minggu ini, ngebahas tentang film-film (yaeyalah masa ngebahas dunia fitness). Ga. Ngebahas film-film yang akan hadir di tahun mendatang, dan satu rubrik tentang list film-film memorable para kru majalah ini.
Ceritanya gue mau latah nih, sekaligus melepas kerinduan gue akan pengetahuan film-film kece yang selama ini pernah gue ganyang.

Here we go,

Most Watched : The Lord of the Rings
Gue bukan tipe orang yang "ah gile keren banget ni pelem" dan lalu muter, muter, dan muter kembali tu DVD sampai nafsu ini puas. No. Gue tipe orang yang "ah gile keren ah ni pelem". Sudah. And let it be like that. Gue cuman mau menjadikan puncak kepuasan itu tidak diganggu lagi, dan menjadi special moment of proud. Beda kalo pelemnya diputer lagi di tipi.
Nah broo... kalo ni pelem beda. Entah beda. Dari cerita, setting, tokoh, abang Legolas, bahkan batu-batunya sekalipun, itu semua tidak cukup sekaliii...

Favorite Director: Christopher Jonathan James Nolan
Mungkin sudah banyak orang yang kenal sama sosok brainy satu ini. Yaaa... sudah mulai mainsteam. Tapi Nolan itu, ibarat hotel ya Bro, dia itu ada kamar khusus di hati ini semenjak kedatangannya pas The Prestige (pelem pertama yang notabene sukses ngebuat gue pengen nangis karena kerennya, dan pelem yang pertama kali mengenalkan gue kalau director as hell ini eksis di bumi). Jadi ya... mau jadi se-mainstream apa lelaki itu, dia tetap terkunci di ruang itu.

Favorite Animation: let them say it's too mainstream or cheap: FROZEN!!
One thing only: Idina Menzel!

Favorite TV Series: It's so hard to tell, whether him or him (The D or The S. Can you guess?)

Favorite Soundtrack: Circle of Life
Recently most playing, so yeah... I took it.

Favorit Twist: The Sixth Sense.
Sebenernya susah mutusin mana yang paling najong. Secara hobi gue nontonin pelem-pelem yang sarat twist kayak eek. Entah itu dari The Prestige, The Others, Secret Window-om-Joni-Depp-ku-tersayang, Alone, atau Jodha Akbar sekalipun, ada hawa lain saat nonton The Sixth Sense. Jadi ya....

Favorite Based-on-True Story: Soe Hok Gie
We are The Yellow Jackets!

The Movie that You Love But Everyone Seems to Hate: Secret Window
Nope. Not only because it's Depp's, but also the twist, sanctuary setting, and this is Stephen King's! Moreover, the last but not the least, this movie successfully broke down my grades in my mid year of High School. Such a wonderful distraction.

The Movie that You Hate but Everyone Seems to Love: Avatar
 I just had a very expectation to the moon and back for this movie because of people's hype. Yet, it's just Blue thingy, and recent political issue approach.

Most Tear-Jerking: The Patriot
The scene when the Daddy needed to go to war, but the little daughter who had barely produced any single voice from her mouth was screaming to death to the Daddy. Preventing him to go away or beyond. Hell. Daddy issues's simply annoying.

Most Favorite Drama: (500) Days of Summer
Poor JGL is poor. I simply fall into the out of the box concept, script, cinematography, original soundtrack, actors, and things like "I just... I just woke up one day and I knew... I was never sure I'll with you." and you can just look at JGL's expression. My heart turns into pieces.

Done.

Sampai bertemu di lain kesempatan.
Cheers!







Just An Old Stuff For a Lady Out There

Taraa... I'm alive, ya  moron face!
Oops sorry.. Begini nih kelakuan setelah lama hiatus di bidang tulis menulis.
Keinginan untuk kembali ke dunia blogger ini begitu besar dan membuncah.
As I got no idea to write a thing yet, but I got time to reinvented the long-ago stuff.
Then my head came to one of a kind; Koci, atau lebih tepatnya Markoci. Atau lebih tepatnya lagi Korokoci. As I please.


Dear Koci,

I got something for you. Something old, yet I'm sure you'll enjoy it as hell.
Jadi ini note gue bikin jaman-jaman gue kuliah unyu di Sasing saat itu.
Yaaahhh sekitar semester 4 or 5. Masih muda lah gue. Ga tau elo... Dan gue juga ga tau eksistensi lo di mana saat itu.
Gue ga pake edit atau apalah. Asli dari masa itu. Perbincangan, atau lebih tepatnya diskusi kece gue dan Mam Retno pasca jam mata kuliah. Saat otak ini masih golden dan kritis, tanpa sentuhan rutin MSG seperti saat ini.
About Caulfield; thing that recently you adore, for sure.
Just for your perusal and thought. It's so good for you, and maybe for every head who familiar with this abstract character.

Hold your breath, and off ...

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Jadi, TCITR di mata dosen gw...

1 1.       Si Holden Caulfield itu JEWISH titik
Emang tau dari mananya, mam?
Kan dia disunat.
Disunat? Yang dibagian mana, mam? Kok saya gak nemu ya?
Ada. Dia kan pernah bilang kalo dia kadang malu kalo harus ke kamar mandi sama temannya ya k arena dia itu di sunat.
*manggut2 bego* ooo…. (disebelah mana gw juga masih penasaran)
Tapi mam, saya kurang setuju. Soalnya ada di salah satu chapter apa gitu dia nyebut2 Jesus.
Anda nggak bisa langsung ngejudge dia Jewish hanya karena dia nyebut Jesus. Yahudi itu sebenarnya dia juga belajarnya tentang Judasisme, mereka bisa dibilang gak jauh2 belajar dari ajaran orang Kristen, jadi gak salah dia nyebut2 itu. Cuman hanya karena salah persepsi orang2 disekitarnya aja yang menuduh dia kaum yang ngebunuh Jesus ato apalah, jadinya sudah terlanjur timbul stereotip jelek seputar dia itu penghianat Jesus ato apa namanya terhadap mereka.
(jujur ya, bam. Gw juga kurang tau banyak tentang jewish. Jadi gw juga masih sangsi en penasaran berat sama seluk beluk riwayat mereka. Bahan yang menarik untuk dijelajah.)

2 2.       Anak kecil yang complicated.
Trus, waktu tu mam juga pernah bilang kalo dia itu anak yang ga mau growing up. Itu kenapa bisa begitu ya? Apa karena pengaruh lingkungannya? Tapi kalo dilihat dari bekgroun keluarganya,dia punya keluarga yang perfect, adeknya perfect. Papa mamanya juga baek2 aja.
Nah mungkin dari factor itu. ‘Kemapanan’ yang mungkin ngebuat dia jadi berpikir kalo segalanya udah ga berarti lagi bagi dia. Dia jadi gak punya impian lagi kan dengan hidup yang sudah mapan seperti itu. Lucu juga ya kadang pemikiran anak2 itu. Jadi gak sesimpel seperti yang kita bayangkan juga. Biasanya yang anak2 angan2nya macem2, dia malah nggak. Seru ya mereka itu.

3 3.       Buku terlarang di era itu.
Kenapa ini buku terlarang ya, mam?
Iya, kan ini buku dibuatnya taun berapa? Sekitar 60 an gitu kan, pas di jaman depresi amerika. Di jaman itu, orang2 amerika perlu sesuatu yang bisa ngedorong mereka untuk keluar dari era depresi itu, seperti karya2 yang ngebangun dan ya…biasanya yang semangat gitu kan. Biar mereka idupnya gak makin depress lagi dan terdorong. Nah, kalo waktu itu mereka disuguhkan bacaan seperti ini, ya tentu saja dikhawatirkan bisa mempengaruhi mental mereka yang tengah ancur.
O jadi di era itu aja dilarangnya? Gak ampe sekarang kan, mam?
Enggak. Apalagi itu kan gitu, tokoh utama anak kecil yang ‘kok bisa ya dia begitu’.
Jadi mam, permasalahnnya hanya karena dia itu anak kecil?
Iya. Ya karena dia anak kecil jadinya ya makin bahaya. Nanti anak2 yang ngebaca gampang terpengaruh kan. Namanya juga anak2. Coba kalo misalkan tokoh utama yang mengalami hal kayak gitu itu orang dewasa, mungkin novel itu gak akan disensor. Biarin aja beredar.
Lho..tunggu. berarti, maksud mam kalo dikhawatirkan anak kecil ini berbahaya, jadi ini bisa dikategorikan sebagai novel buat anak kecil?
Ya karena tokoh utamanya anak kecil kan? Bisa saja novel ini diperuntukkan untuk anak2. Biasanya kan begitu. Apalagi kalo di amrik itu kan, masih sekolah dasar aja mereka sudah disuguhkan macem2 bahan bacaan ya kayak novel2 gini. Kan bisa gawat kalo mereka disuguhkan novel semacam ini.
Wow (buset, kagak ngebayang gw anak kecil baca beginian)

4 4.       Pengarang=Depress
Mm.. kalo diliat, karya2 JD Salinger itu depress gitu ya. Ya kayak novel ini aja. Apa ini karena penagaruh si Salinger sendiri kalo dia itu jewish dan idupnya yang depresi karena selalu dikucilkan dari kehidupan masyarakatnya?
Bisa jadi. Iya bener. Kasian ya dia, sama kayak orang kulit hitam waktu itu yang juga dimarjinalisasi. Kasian ya mereka. Sapa juga yang mau, mereka juga pasti gak mau lahir dalam keadaan yahudi ato kulit hitam ato apa yang hidupnya dikucilkan gitu kan. Makanya kan jaman itu karya2 orang yahudi sama hitam kan sejenis temanya, tentang depres2 gitu. Coba anda perhatikan. Mereka waktu itu bukannya menciptakan karya2 sastra yang ngebangun, tapi malah kebalikannya kan. Menarik emang.

5 5.       Trus, kok saya gak nemu titik klimaks yam am selama baca novel ini?
Iya iya. Memang gak ada klimaksnya ini novel………………………………… (waduh, gw lupa dah apaan waktu itu komennya)

6 6.       Menurut mam, novel ini menarik gak?
Oiya tentu saja. Dengan adanya isu dilarangnya novel ini beredar kan jadi kita bertanya2 penasaran ‘emang kenapa sih? Ada apa dengan novel ini ampe bisa dilarang kayak gitu? Pasti ada sesuatunya. Gitu.
Iya iya
Iya kan? Anda tahu, apa sih arti sebenernya the cathcher in the rye itu?
Apa ya mam.. ya begitu, kan rye kek ladang gandum gitu kan, trus dia jadi catcher, penangkap…
Iya kan, jadi dia, dengan berada di tengah2 ladang gandum yang tak tahu harus kemana dan tidak ada apa2nya, dia malah pengen jadi the catcher. Apa yang mau dia tangkap? Maka dari itu, itu tu penggambaran kalo dia itu hidup di bayang2 yang gak pasti  kan? Gak ada tujuan yang bakalan dia tangkep. Dan dia senang berada di posisi itu.
Hmmmm… *manggut2 takjub* iya iya mam. Bisa ya pemikirannya. Padahal kan masih berapa ya? Thirteen kan ya kalo gak salah.
Iya. Menarik anak kecil itu.



Nah, begitulah kira2, ven. Sebenaernya banyak banget si yang diomongin, tapi intinya yang gw tangkep begitulah. Jujur, belom puas gw. Haha
Bagaimana menurut lo?


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Gimana Koci menurut lo?
Gue yakin, pasti lo ngebaca tu tulisan sambil meniru-niru logat Mam paling okeh itu di dalam kepala lo... (sotoy mode on terus).


PS: Jangan cari pacar kayak Holden ya. Bisa repot dunia persilatan Asia Pasifik.




Minggu, Oktober 07, 2012

“It has changed my life…”


Halo halo…  sudah lama tak berjumpa dunia per-blog-an ini. Dan sekarang gue udah jadi alumni UI. Mihihi alumni alumni… *joget Squidward*

Jadi topik kali ini seperti yang terlihat pada judul di atas itu tuh ya. Nah iyak. Sebenernya sih topik utamanya ga itu-itu amat. Aduh labil deh mbaknya inih. Eym. Topiknya sih lebih ke Dexter sih. Hah? Apaan tuh Dexter? Obat batuk? Bukan Dexter itu obat kegundahan hati ini (hanjir muntah). Yaa… kalo mau jujur sih kurang lebih begitu. Jijik memang.

Jadi Dexter itu apa? Dexter itu salah satu serial yang menurut gue….. mmm…. Hmm…. Errrr… zzzz…. Auuumm… Roarr.. susah dideskripsiin. Yang penting, kalo lo pernah ngerasain jatuh cinta yang amat sangat, tapi sakit ati sesakit-sakitnya gegara ga bisa menggapai cinta lo itu, akhirnya berujung pada kondisi psikologis yang kurang normal atau kalo kata orang bule-bule itu bilang “so freak”, nah kurang lebih seperti itu.

Gak normal? It absolutely is. Kenapa? Simply: jenius! Terus hubungannya sama judul di atas? Okay… here we go.

Terkadang, atau mungkin sering kali, kalo orang mengatakan hal yang seperti gue tulis di judul itu, gue pasti udah nyeletuk “so cheesy” “ah norak” “ah murahan”. Nah, boleh dong sekali-kali gue murahan, cheesy or apalah itu kata gue. Sebenernya ga gitu sih. Sebenernya, kalo udah mengalaminya sendiri, kita baru tau. Seperti contohnya aja kalo gue mengungkapkan kalimat itu dan dipautkan dengan Dexter, nah! Cocok. I don’t feel so cheesy anymore. àdenial syndrome. Ato karma? Hanya rumput yang sedang clubbing yang tahu.

Langsung ya Broh. Beberapa hal dalam Dexter, baik dirinya secara pribadi (aw aw aumm) maupun serialnya secara keseluruhan, yang telah “mengubah hidup gue” (azeeg), antara lain:

1.        Karena Dexter, gue jadi bersyukur dan bangga bisa tinggal di negara torpis nan panas Indonesia ini. Ga pernah ngeluh-ngeluh panas matahari lagi, nerima kegerahan kota Bekasi ini, ga gaya-gayaan pake air conditioner yang konon menyumbang efek global warming bumi ini, dan laen-laen. Liat saja Dexter dan kawan-kawan yang merasa bangga menjadi bagian dari negara tropis Miami. Ga pernah ngeluh akan panas dan teriknya matahari, merasa seksi dengan menjadi gosong, ato istilah selebritinya “tan”, dan I just found out that wearing sunglasses is so classy. Padahal dulu kalo gue ngeliat orang pake kacamata item, dalem ati, “ih gayak bener”. à lagi2 karma

2.       Karena Dexter, gue jadi aware sama kesehatan, terutama postur tubuh yang aduhai, yang otomatis berujung pada tubuh yang sehat. Jadi begini, di Dexter itu ga ada Broh yang namanya muka kece yang bikin lo mimisan depan layar. Serius. Muka mereka itu… yaah.. so so. Tapi… body-nya dong bok liat… sixpack semua. Ato paling ga apik-apik semua. Ah gilak. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue gue sadar akan kerennya punya postur tubuh yang kenceng-kenceng gitu. Dari situ jugalah gue mule atur pola makan, aerobic, angkat barbell macem mas Agung, makan rebus-rebusan, mengenal teh hijau alami, bisa maenan hulahup, dan laen-laen. Hasilnya… hahahahaha lumayan sih. Tapi gak maksimal-maksimal amat. Jadi kalo gue malem-malem nontonin Dexter itu, kalo paginya gue ngelanggar aturan-aturan itu, gue malu coy. Gimanaaaa gitu rasanya. Apalagi kalo ngeliat Debra. “Yaoloh Debra…”*sambil elus2 perut*

3.      Masih seputar tubuh sehat, karena Dexter, gue jadi tau makanan-makanan sehat yang seharusnya kita makan biar jadi manusia sehat. Contohnya aja, Dexter yang selalu makan daging dengan hanya satu cara: di panggang, atau istilahnya steak. Selain itu? Digoreng..didendeng..apalagi direndang… Nay! Jarang sekali minum-minum. Bawa-bawa donat buat teman kantornya tapi ga pernah dia makan. You know, kan? Terus ga pernah merokok. Melenceng dari makanan tapi tak apalah. Liat aja bibirnya yang pink itu… jauh sekali dari kesan perokok. Ah me? So freak. Nah ini nih… dari gue dulu yang suka sama asep-asep rokok, karena Dexter gue sekarang jadi anti banget sama orang-orang yang ngerokok. Apalagi deket-deket gue. Jadi kalo ada orang ngerokok terus asepnya ampe muka gue, gue pasti tahan napas, sumpel idung, terus lari ke area laen, mengehembuskan napas like a madman.

4.       Karena Dexter, gue ga takut darah lagi. Klasik emang, tapi ini beneran. Parno seperti halnya orang-orang pada umumnya. Gue juga kayak begitu. Ya ga parno-parno amat sih tapi ya tetep aja perasaan jijik tetep ada. Sekarang? Gue belajar kalo Dexter aja menganggap darah itu “sahabatnya”, kenapa gue nggak? Lagian apa yang sebenernya lo takutin dari darah? Toh benda merah kental itu berasal dari tubuh lo sendiri dan konon sebenarnya elo bawa-bawa tiap hari. Hayoo… nyadar kan… Klasik. Pengaruh eksternal, kan? Umumnya begitu. Terus lagi, karena Dexter juga gue jadi tau kalo darah itu ternyata bisa mengandung toxin yang mungkin cukup berbahaya bagi tubuh. Jadi, jangan sok-sok ga mau kalah sama Dexter terus maenannya sama darah terus.. ntar kena toxin baru tau rasalah kau.

5.       Karena Dexter, gue tersadar kalo hidup rapi itu menyenangkan dan menenangkan jiwa dan raga. Liat aja apartemennya. Gue yang ngeliatnya aja pasti berdecak, “oh Dexter marry meeee….” Terlalu rapi untuk ukuran lelaki bujang macem doi, yang ngebuat gue selalu bermimpi punya rumah yang cukup mungil nan minimalis seperti apartemen doi tapi bisa serapi itu. Aahhh mimpi… Gak cuman itu, perencanaan “ritual” nya pun harus serapi mungkin. Nah… see? Segala yang tertata itu akan berbuah manis. Noted! Thanks Dexter.

6.       Karena Dexter, gue bisa bikin pancake. Muehehehehe.. true!! Walopun pancake ugal-ugalan, tapi rasanya boleh ditandingi. Dexter. Si lelaki dengan hidup sehat, sangat mengutamakan sarapan di pagi hari dengan menu yang sehat, contohnya pancake. Dan doi pembuat pancake terbaik setelah steak. And I realize that pancake, plain pancake, is the choice for ya to make your day brighter. It’s healthier and lighter than nasi uduk, than indomie, and sweet. 

7.        Karena Dexter, I found out that SUV, especially driving it, is so cool. Ini ga ngubah-ngubah idup banget sih ya, tapi ngubah pola pikir lebih tepatnya. Jadi SUV di mata gue itu… jadi jantan! Cuman dalem pikiran aja lo ya. Tetep SUV itu ga bagus, Brohh. Ga ramah lingkungan, pelit penumpang (umumnya), dan boros tempat, terutama tempat perkir. Pan kasian mobil laen yang ada di sekitarnya. Trus gara-gara si Dexter, sekarang gue kalo nyetir bawaannya ngerasa kalo gue ini Dexter aja. Nyetir SUV. Memandang tiang-tiang lampu di tol dan membayangkan kalo itu semua adalah barisan pohon palem khas Miami. Minus mayat di bagasi. Yeah..freak..

8.       Karena Dexter, gue jadi pengen punya jodoh ahli forensik… ah klasik sekali. Lupakan!


Emm… sudah ya Brohh. Makin lama gue makin jijik. Tuh kan jijik sendiri. Makanya, hikmah yang bisa diambil, kalo ngomong itu mbok yo dipikir dulu. Jangan asal nyeplos. Karma does exist lo. See? Jijik kan lo ngeliat orang “freak” macem gue begini, dengan bukti-bukti di atas begitu? Aduh maap yak. Jadi beginilah rasanya jadi orang murahan. Brrrr... Haduh yaudah ya Brohh ane mandi besar dulu. Cuss.. sampai bertemu di tulisan-tulisan menjijikkan lainnya.



Die die!! –ucapkan dengan nada “bye bye”



Kamis, Maret 01, 2012

Dear Bang Legolas...

Berhubung sudah mulai muak dengan teori-teori tugas-akhir-nan-agung ini, dengan ini gue memposting sesuatu. Sebenernya ini fanlet (ceritanya fan-letter) karya jaman gue masih duduk di semester 2 dahulu kala. Masa-masa polos mahasiswa. Entah polos atau entah begok. Yang jelas beginilah bukti konkrit masa-masa itu. Maklum ya kalo beberapa penulisan bahasa proto-nya masih-masih alay. Biasa lah. Seperti yang gue bilang tadi: Masa-masa begok. Siplah....





Dear Bang Legolas,

Bang, kangen nich saya. Abang kapan ke Bekasi lagi?
Gimana Bang kabar Bumi Tengah? Baik-baik sajakah?
Sudah lama banget saya tidak kesana. Abang masih jualan tempe di pasar Rivendel? Denger-denger kan tempe udah terkontaminasi sama virus H1N1 ya bang di Bumi Tengah sana? Seram sekali bang. Makanya, Abang kudu ati-ati lo yak. Amit-amit jabang bayi singa dech kalo abang ampe kena penyakit begituan. Udah, mendingan ganti profesi aja jadi tukang cuci buntut kuda disana. Lumayan kan bang. Sambil nunggu tahta kerajaan jatuh ke Abang.

Oya bang, gimana kabar cs abang? Denger2, Mang Gimli nikah sama Arwen ya bang? Wahh...hebat sekali tu amang-amang brewok.
Trus..denger2, gara2 Kang Aragorn gak bisa numbuhin brewoknya lagi gara2 virus kutu loncat, Arwen jadi gak nepsong lagi sama Dy. Makanya Arwen berpindah ke lain brewok dengan Gimli. Emang juga sich ya bang, cewek-cewek Bumi Tengah aneh2 seleranya. Bukan matre bukan apa kayak disini, tapi dilihat dari ‘Brewok’. ‘Semakin brewok, semakin asoy’ (slogan cewek2 sono).
Ckckckck. Makanya, abang musti bersyukur biar kata cuman jadi Tukang Tempe, dan yang terpenting abang kagak bakalan itu yang namanya punya brewok. Biar aman... biarpun saya jauh di Bekasi sini.

Ngomong2, kok saya jadi kasian gini ya sama Akang Aragorn. Oya bang, kata mama, kutu loncat disemprot aja pake air Rinso. Ntar kalo di sono gak ada, saya bawain dech dari sini. Banyak disini mah. Makanya abang ke sini donk jemput saya.
Trus bang, abis disemprot ke tu brewok, jangan lupa kasih Minyak Firdaus a.k.a. minyak perangsang pertumbuhan jenggot/bulu. Ntar juga saya bawain dech dari sini kalo misalkan persediaan di rumah abang yang dulu saya sempet bawain buat numbuhin bulu dada Mbah Gandalf yang udah mule rontokan udah abis.
Ya...biar kata Arwen gak bakal balik lagi gara2 udah telanjur tenggelem di jenggot Mang Gimli, yang penting dy udah punya aset lagi to bang buat kelanjutan cewek2 lainnya.

Bang, Om Johnny mau ngajakin saya ke Neverland. Boleh ya bang?? Abang baek dech. Ya ya. Disana seru bang. Seseru di Bumi Tengah juga, tapi gak sesuram Bumi Tengah. Saya mau ketemu Pirates, nyuciin kapalnya sekalian, poto ama buaya yang lagi mangap, mau gelantungan di hooknya Captain Hook juga.... Apa?? Abang mau ikut gelantungan juga?? Yauda...gelantungan bareng aja bang.
Nah... makanya, abang kesini aja sekalian jemput saya. Ntar biar sekalian saya kenalin lebih jauh sama Om Johnny. Oke bang?
Trus bang, rencana abang yang mau ke Alagaesia itu jadi bang? Saya mau donk sekalian ikut. Saya mau ketemu naga-naga, bang... kan di Bumi Tengah kagak ada naga yang begituan. Adanya naga si itu.. sapa dah namanya...lupa. yah...pokoknya yang itu dah. Jelek naganya. Item bleteung. Sayapnya bolong2. Udah gitu matanya belekan. Trus bokongnya gak pernah disikat. Gak sudi saya ngeliatnya aja.
Ya bang ya... saya ikut. Tapi ni bang, kalo misalkan abang jadi ke Alagaesia, keahlian abang nyuci buntut kuda kurang ter-explore dengan baik bang, kan disana yang banyak naga. Kuda mah, cuman buat maenan bayi naga doank bang. Ntar...kasian juga abang nganggur disono.

Hmm... bang, apa Bumi Tengah udah beneran damai? Apa pertempuran kemaren itu beneran pertempuran abis2an? Saya masih sangsi ni bang. Soalnya, waktu saya di sono, pas lagi lewat di segerombolan ibu2 yang asyik ngerumpi, saya denger kalo si Gollum sempet beranak noh bang. (nah lo) Musti waspada juga tuch. Ntar, tu anak malah jadi biang onar lagi dah disono.
Oya bang, kabar Dek Frodo piye? Gimana bang? Apakah dy sudah kursus ortopedi? Kan kasian juga tu bocah kalo selamanya jadi yang paling kuntet di Rivendell sono.
Trus trus...mbah Gandalf, gimana tuch bang? Bulu dadanya sudah sembuhkah? Saya cuman khawatir, karena udah saking tuanya, tu minyak Firdaus gak mempan dipake.
Trus si mbah Bilbo bang. Nah...itu. gimana kabarnya? Pasti makin keriput aja dah tu orang. Pakein Olay Total Effect aja bang. Melawan 7 tanda penuaan. Mbak Marissa Haque aja pake bang. Jangan mau kalah.

Hmm...udah dulu ya bang, saya mau ke pasar dulu beli Rinso buat persediaan ntar dibawa kesono. Inget! Jangan pernah yang namanya nyoba2 Minyak Firdaus. Kalo sampe ketauan, saya bakalan gundulin rambut abang.

Oke bang, saya pamit dulu. Inget juga, tinggalin tu tempe2 demi kebaikan kita bersama.



Salam Wini the Puh,
dGreenleaf.

Jumat, Februari 17, 2012

So Much Happened Before Dorothy Dropped In.


And yes, so much have been happening after I’ve known this musical: WICKED!


~~~~~~


Semua kegilaan gue akan teater musikal ini bermula dari menonton salah satu serial paling happening saat itu (dan masih sampe saat ini): Glee. Salah satu adegan nyanyi yang dilakukan dua tokoh utama dalam serial itu, yang mana menjadi lagu paling favorit karena lagunya yang (menurut gue) simple tapi keren, yaitu Defying Gravity, menjadi cikal bakal dari segalanya. Entah kenapa bisa jatuh cinta banget sama itu lagu. Seperti ada sesuatu yang mengikat, atau seperti menjadi suatu pertanda, tapi entah pertanda apa.

Usut punya usut, ternyata lagu itu merupakan salah satu lagu dari salah satu musikal Broadway: Wicked, yang katanya merupakan musikal yang udah memasuki level LEGEN…. wait for it…… DARRYYYY! Gue yang tidak tahu menahu tentang apa itu Wicked apalagi ke-kerenan-nya itu, menjadi semacam makhluk yang: “ya sudah lah ya. Yang penting gue seneng ama lagu ini.

Oh ya, seperti yang gue bilang tadi, kalo lagu ini seperti ada sesuatu, nah itu berlanjut ke obrolan intim bersama salah satu teman yang juga penyuka lagu ini dan musikal. Dari obrolan itu, timbul perasaan yang “wah”, tapi yaa biasa aja. Ga (ato belum) terkagum-kagum banget. Pada akhirnya seiring obrolan selesai, kekaguman akan musikal Wicked perihal lagu itu pun menguap dan menjadi: “ya sudah lah ya. Versi Glee itu udah keren banget.

Seperti ikatan yang tak bisa dideskripsikan, walopun gue-agak-menjadi-makhluk-yang-cuek tentang bagaimana dan apa itu musikal yang melahirkan lagu sekeren Defying Gravity itu, ditambah dengan kompor temen gue yang bilang “Tapi tapi tapi versi Wicked aslinya lebih keren…”, yasudah. Gue memutuskan untuk melirik ke yutub. Setelah melihat, gue menjadi….”Keren.” Dan pada akhirnya tetep sih, menjadi: “Ah yang Glee tetep keren.” -àminta ditabok ga sih ini orang.

Sampai pada akhirnya, sodara-sodara, salah satu teman yang itu tuh, yang mengadakan obrolan tentang musikal itu, memberitahu bahwa pertunjukkan teater LSPR (London School Public Relation, red.) tahun ini yaitu Wicked, sodara-sodara. Nah entah kenapa, gue seneng banget dan rasa ini tak bisa kalo melewatkan begitu saja. -- Oiya, jadi begini. LSPR itu tiap tahunnya emang ngadain pertunjukkan musikal adaptasi Broadway gitu. Gue yang saat itu notabene penyuka musikal dasar (musikal-level-film) itu pun selalu ngerasa excited kalo denger ajakan temen gue untuk menonton LSPR itu. Seperti taun kemaren mereka mementaskan Les Miserable. Nah itu gue udah mau nonton, tapi entah kenapa ga jadi. Nyesel sih. Nyesel, men. -- Nah balik ke pengumuman Wicked. Gue berjanji tak akan melewatkan mereka lagi, dan ini Wicked. Ini Defying Gravity yang gue kenal menawan itu. Gue harus nonton! Dan pada akhirnya…..dengan modal duit yang baru dikasih bapake….dengan modal agak melawan ortu karena pasti ini akan membuat gue pulang larut dan tak ada teman pulang….intinya, dengan modal nekat dan kurangnya restu dari ortu, gue berangkat. Yeah!

Pertunjukkan pun dimulai. Masih terkagum-kagum sama anak-anak mahasiswa LSPR ini yang “kok bisa ya” membuat teater musikal Broadway paling megah di abad ini. Walopun ruang pertunjukkan kecil, sempit, dan kursi penonton yang sangat eksklusif (baca: sangat dikit), mereka membangun Broadway, Wicked, di salah satu gedung di jalan Sudirman Jakarta ini.

Pertunjukkan pun dimulai. Yaampun ya bok…dari awal tirai dibuka aja udah cling-cling aja gitu panggungnya. Tata pencahayaan dan musiknya. Udah ga ngerti lagi gimana klimaks ceritanya yang terkenal “wahhh” itu. Dan di gedung ini, saya benar-benar disadarkan bahwa musikal ini memang benar-benar musikal yang tidak boleh dipandang sebelah mata belaka. Terkagum-kagum ampe merinding dewa dan sempat mengucurkan air mata --bukan karena ceritanya yang sedih, tapi karena saking kerennya-- terutama pas adegan penutup part I: Defying Gravity. Oh tidak tidak tidak sanggup. Itu adegan dimana Elphaba, salah satu tokoh utama si penyihir ijo, benar-benar terbang dan meluapkan emosinya yang aduhay ke penjuru Oz. dan lagunyaaaaa…oh tidak….

Kalo yang Glee itu udah gue anggep keren, ini jauh jauh jauh lebih keren. Ampe merinding dan nangis gara-gara tu lagu dan adegan…padahal terbangnya ampe mentok langit-langit yang-harusnya-mengurangi-kesan-awesomeness-nya… gimana cobak ceritanya…. Yaaah intinya: luar biasa! Dari karakter, kostum, tata panggung, lighting, cerita, nilai yang dipetik, dan terutama musik dan lagunya, itu semacam konspirasi yang bersatu untuk merubuhkan kemonotonan dunia fana.

Dari situ, rasa cinta akan musikal itu sangat menggebu-gebu. Rasa ini begitu indah. Kamu tahu? Kamu tidak akan pernah tahu, karena kamu bukanlah diri saya ini. Hueee.

Kisah pun berlanjut. Karena musikal ini, akhirnya, untuk pertama kalinya dalam hidup gue, terbang ke negara tetangga: Singapura. Kenapa bisa begini? Jadi begini, gue tahu Singapur itu memang salah satu negara yang dijadikan tujuan pertunjukkan orang-orang Broadway untuk mengadakan tur dunia. Seperti misalnya, tahun kemaren saja mereka nampilin musikal The Lion King. Dan itu salah satu penyebab gue megap-megap ga rela gara-gara ga bisa nonton, dan hanya mendengar salah satu kesan teman yang nonton itu yang tak henti bilang: “keren gila” Fine!!! Dari situ, perasaan gue udah ga enak nih. Yaaahhh namanya juga ikatan ya… akhirnya gue coba browsing-browsing tentang apa yang akan Broadway bawa ke Singapur ini setelah The Lion King ini selesai. Dan insting serta perasaan gue ternyata memang benar adanya. Wicked dijadwalkan tampil setelah The Lion King selesai. OOHH SWEET OZ!! Udah ga ngerti lagi pas ngeliat itu pengumuman di layar monitor. Udah nahan napas ga percaya ato mungkin lemes tak bertenaga dan lupa akan dunia sekitar untuk sesaat. RASA INI BEGITU INDAH!!

Dan Alhamdulillah, rejeki itu selalu ada. Gue diberi kesempatan untuk terbang kesana dan menonton sesuatu yang lebih baik dari Lion King: WICKED!! LANGSUNG DARI BROADWAY CAST!! Jadi perjuangan gue kerja-tiga-bulanan di salah satu perusahaan penerbangan Indonesia saat liburan semester genap tahun lalu itu gue abadikan untuk menonton “kekasih” gue di negeri orang itu. Memang perjuangan yang tak ringan, tapi semua terasa sangat ikhlas karena gue tahu kesempatan musikal semegah itu, walopun di negeri orang, tapi itu tempat terdekat yang bisa gue capai untuk menonton kualitas Broadway langsung.

Setelah melewatkan semuanya, pertunjukkan pun di depan mata. Tapi sayang… sayang seribu sayang… dengan gedung pertunjukkan yang besar, tidak seperti gedung yang saya tonton sebelumnya, posisi duduk kami yang paling belakang menjadi penyebab utama pengilhaman akan pemain-pemain di panggung itu sangat terbatas. Jadinya kami tak bisa melihat secara jelas mimik atau ekspresi mereka yang menjadi kunci utama play yang sangat menguras emosi ini. Sangat berbeda dengan LSPR. Disini jauh lebih megah dan wah dan mewah. Tentu saja…Broadway… Tapi disini juga, gue tidak bisa melihat langsung muka centil Glinda ato kemarahan Elphaba. Semua terasa sangat kosong di Grand Theater saat itu. Alhasil, penghayatan secara maksimal hanya bisa dilakukan melalui audio yang menakjubkan dan pencahayaan yang terlihat mentereng di depan mata sana. Ironis apabila gue mengatakan jauh lebih berkesan dengan LSPR dibanding Broadway. Tapi begitulah kenyataannya. Logikanya begini, ruang yang sempit membuat pengilhaman gue akan pemain dan segala tetek bengeknya menjadi semakin dekat. Wong jelas, di beberapa adegan aja para pemain munculnya dari bangku penonton. Jalan di samping gue, nyanyi dengan suara-suara bertalenta tinggi yang..…tak bisa dideskripsikan, gimana gue ga “anjrit anjrit”. Dan yang paling penting, mengapa menjadi sangat berkesan, karena LSPR merupakan pengalaman gue yang pertama. PERTAMA. Jadi kesannya mata gue yang tadinya ga tahu apa-apa itu dibuka. Kalo yang di Singapur ini kan udah kedua kalinya nonton, dan gue udah apal semua lagu-lagunya dan sebagian besar dialognya, dan yang jelas ceritanya, jadi efek surprising-nya itu jadi kurang berkesan walopun efek-efek teknologinya dan pemain-pemainnya jauh lebih canggih dan wow disana, ya karena udah tahu gimana gimana dan apa yang selanjutnya terjadi. Emang bener kata orang-orang, pengalaman pertama itu ga bisa tergantikan.

Alhasil, dengan sedikit rasa tidak puas, tetap saja gue merasa sangat bersyukur bisa dikasih kesempatan mendapatkan pengalaman Broadway langsung untuk pertama kalinya. Sepulangnya dari sana juga gue selalu berdoa dan berharap agar selalu diberi kesempatan untuk menonton lagi lagi dan lagi. Kalo bisa, balik ke negeri itu lagi sebelum itu pertunjukkan sampai pada masa penutupan, dan mendapatkan tiket dengan tempat duduk yang lebih depan. Amin.


Impian pun terkadang tak hanya berhenti disana. Dari musikal ini, gue menyadari bahwa kepuasan mutlak tidak hanya berasal dari mengkonsumsi karya besar seperti itu saja, tapi menjadi bagian dari proses produksinya. Agak gila dan sangat tidak mungkin, mungkin. Tapi itulah yang selalu menghantui pikiran gue selama ini, selama mengenal karya luar biasa ini. Paling tidak, menjadi orang di balik panggung atau semacamnya. Atau mungkin kru pengangkut property juga gue terima. Yang penting masuk ke dalam produksi itu. Orang harus punya mimpi bukan? Ya. Gue pun begitu. Dengan itu gue punya motivasi tersendiri untuk hidup. Klise memang. Tapi itu kenyataan. Walopun pada waktunya nanti itu tak pernah terwujud, tapi banggalah akan mimpi yang telah memotivasi langkah hidupmu itu.


Jadi, bagaimana? Apa mimpi kamu?




Just note: “Everyone deserves the chance to fly!” –Wicked regard from Elphaba Thropp, the Wicked Witch of the West.


Senin, April 18, 2011

Karena Pada Akhirnya, Kau Hanya Berdiri Sendiri

Ini sebuah cerita dari perkumpulan Life Support. Tentang delapan orang pengidap HIV. Mereka berkumpul dalam satu lingkaran. Berbagi. Dan juga memotivasi satu sama lain. Lingkaran ini mungkin hanyalah lingkaran biasa dimana orang-orang saling berbicara satu sama lain. Tetapi tidak bagi mereka. Mereka berkumpul dan tidak tahu apa dan siapa yang akan hilang dan tidak akan pernah hadir kembali diantara mereka pada hari esok, lusa, dan seterusnya. Hilangnya salah seorang dari mereka mengundang kepedihan yang cukup dalam. Tapi apakah cukup apabila kita bilang mereka bersedih karena kematian yang dialami rekannya tersebut? Tidak. Jika kau ingin tahu, mereka bersedih terhadap nasib mereka masing-masing: kematian yang tak lama lagi juga mendatangi mereka. Segelintir kematian yang telah dialami rekan-rekan hanyalah sebuah cermin besar yang menganga di hadapan peserta yang masih bisa menduduki kursi di dalam lingkaran tersebut.

Ini juga merupakan lingkaran yang dinamis. Mereka berkumpul dan mengandalkan sisa hidup mereka di hadapan orang-orang yang juga akan menunggu kematian yang tak lama lagi datang seperti halnya diri mereka masing-masing. Tidak ada yang tetap seiring merambahnya kematian. Namun, mereka masih bisa mengandalkan sisa-sisa kehidupan di lingkaran itu untuk menghabiskan sisa napas yang sangat berharga ini.

Ini lingkaran yang eksklusif. Dimana hanya ada mereka dan motivasi yang juga datang dari mereka sendiri demi bertahan hidup, tanpa adanya kehadiran pihak lain. Mereka hidup dalam dunia yang dibangun dengan pondasi takdir yang sederajat, dan itu sudah sangat cukup untuk bernaung dan mengumpulkan memori paling terakhir tentang kehidupan yang telah dijalaninya di muka bumi ini. Apa lagi yang mereka butuhkan? Melihat dunia yang tinggal secuil ini dari mata tiap rekan sepenanggungan sudah sangat berarti bagi mereka. Apa lagi yang mereka butuhkan? Dorongan orang-orang luar tidak akan ada artinya karena ketabuan posisi mereka saat ini. Apa lagi yang mereka butuhkan?


There’s only us. There’s only this

Forget regret. Or life is yours to miss

No other road. No other way

No day but today



“Who wants to begin?”

“Me. Mmm… yesterday, I found my T sell’s very low.”

“What’s your reaction?”

“Scared.”

“ What’re you feeling today? Right now?”

“Okay. I’m alright. Pretty good.”

“Is that all?”

“It’s the best I felt for a long time. For months.”

“Why choose fear?”

“I’m New Yorker. Fear’s my life.”



Look I’ve found something that you teaches suspect

Because I used to rely on intellect

But I try to open up to what I don’t know

Because reason said I should’ve died three years ago

There’s only us. There’s only this

Forget regret. Or life is yours to miss

No other road. No other way

No day but today





Will I lose my dignity?

Will someone care?

Will I wake tomorrow?

From this nightmare


Will I lose my dignity?

Will someone care?

Will I wake tomorrow?

From this nightmare


Will I lose my dignity?

Will someone care?

Will I wake tomorrow?

From this nightmare


Will I lose my dignity?

Will someone care?

Will I wake tomorrow?

From this nightmare


---RENT. My newest and the most memorable inspiring musical.---

Rabu, Maret 09, 2011

The Power of Madonna (eh salah). Daun Bawang.

Kau tidak tahu. Kau hanya tidak tahu. Kau tidak tahu *nyanyi lagu dangdut


Riwayat satu snack pun berawal disini.

Disaat gw tengah menyelesaikan salah satu tugas, tiba-tiba datang seseorang. Eh bukan, dua orang lebih tepatnya.
"Oy Din ngapain lo?" *gaya preman
"Lha lo ngapain?" *gaya anak ingusan
Dan dia berdiri di hadapan gw yang tengah lesehan sambil mengeluarkan sebuah bungkusan:
Jeng jeng jeng jeng.


Tanpa pikir panjang, gw yang juga kebetulan gatel, akhirnya langsung membuka bungkusan diatas tersebut, dan melahapnya.
("Idih ijo2 gini" Tapi tetep diganyang.)
Lagi lagi dan lagi sampe akhirnya gw memperhatikan dengan seksama bungkusan (yang juga ijo) tersebut dan menggumam "Daun bawang? Demi apa?"
"Demi apa demi apa... Dari tadi elo udah makanin ga nyadar?" *masih gaya preman
Gw: masih ganyang

Lalu tersadar dari kunyahan, "Eh ini aneh banget deh daun bawang..."
"Lha mana gw tau."
"Elo lagi menjalankan hidup sehat ya, Ki?"
Doi diem. Dan berujar, "Lha elo makan gimana rasanya?"
"Asin doang ini."

Dan kami berdiskusi tentang daun bawang. Ini keajaiban dunia, Sodara-sodara. Daun bawang. Dan tidak hanya itu. Kalian perhatikan nama snacknya: Green Biz. Benar-benar rival sejati bis kuning. Dan tidak hanya itu. Kalian perhatikan sub-namanya. Instead of crackers it said krekers, Sodara-sodara. Sangat nasionalisme.

Perbincangan serta diskusi sengit tentang daun bawang terus terjadi, terlebih lagi dengan datangnya satu oknum lagi yang juga bergabung dan nimbrung ikut meramaikan suasana.
Ini tentang daun bawang, bis kuning, Green Biz, serta krekers.

Dan momen sangat penting ini tidak ingin hanya ditinggalkan begitu saja. Maka mereka memperbudak gw untuk mendokumentasikan saat-saat indah bersama krekers daun bawang tersebut.


The discoverer aka preman


"Kamilah pecinta berat Krekers Daun Bawang." (We are the biggest fans instead of the victim.)

The ambassador of Krekers Daun Bawang. Posed with the beloved krekers, they seem so proud of who they are.

And also, kucing pun tak mau...






The power of Krekers Daun Bawang.
Kau tak tahu kau tak tahu.