Perhatian sebelumnya, tulisan dibawah ini hanyalah fiksi belaka (yaeyalah) yang melibatkan dua tokoh yang (kebetulan) menjadi idola saya saat ini. Ini bisa dibilang fanfic ato semacamnya. Dan (kebetulan) ini fanfic debutan saya yang mengangkat tema seperti ini. Jadi kalo merasa tidak nyaman, sebaiknya jangan dibaca. Sekian dan terima kasih.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam kesendirian, dia terus termangu dalam lamunannya yang dalam. Tak ada yang tahu pasti apa yang sedang bersarang dipikirannya saat itu. Hiruk-pikuk orang-orang disekitar stasiun itu seakan hanyalah sebuah patung-patung absurd yang sama tak pentingnya dengan seonggok kucing yang tengah tidur pulas disudut pilar besar yang memancang stasiun tua itu. Baginya, semua itu bukanlah apa-apa. Dan semua itu tidak akan bisa merubah arah lamunannya yang mungkin saja semakin liar entah kemana.
Dialah Kurt. Sosok pria muda dengan potongan anggun sekaligus suram. Sungguh siluet yang indah namun misterius melihatnya duduk termangu seorang diri di salah satu bangku panjang yang mengarah tepat ke bantalan rel kereta di stasiun yang suram tersebut. Sesekali, ia hanya merubah posisi duduknya sekaan membuktikan pada orang-orang disekitarnya bahwa ia masih bernyawa. Namun hal tersebut tidak bisa menjelaskan detail tujuan pasti sang pemuda tersebut di tengah tempat yang identik dengan kesibukan ini. Tapi toh, siapa yang peduli akan keperluan atau tujuan pemuda yang tak “hidup” tersebut. Tidak ada. Bahkan dirinya sendiri pun mungkin sama tidak pedulinya dengan orang-orang yang sibuk akan keperluannya masing-masing di tempat itu.
Tak lama, sesosok pemuda lain datang dan duduk tepat di bangku tempat Kurt menikmati waktunya tersebut. Tepat disampingnya. Pemuda yang kisaran umurnya mungkin tidak jauh berbeda dengan Kurt. Namun yang membedakan adalah pemuda satu ini lebih aktif dan sadar akan keberadaan orang-orang disekitarnya maupun dirinya sendiri.
“Hey… Maaf, apa kau tahu jam berapa sekarang?” Tanya pemuda itu secara spontan kepada Kurt yang berada disampingnya.
“Oh..ya” Reaksi Kurt yang agak tergagap karena sedikit kaget akan gangguan itu. “Mmm…setengah lima kurang 5.” Jawabnya sembari menengok ke arah jam tangan hitam mungil yang melingkari tangan kirinya tersebut.
“Oh. Thanks.” Jawab sang pemuda satu itu. “Hmm kecepatan..” bisik pemuda itu pada dirinya sendiri.
Kurt? Mungkin kekagetan barusan bukanlah suatu masalah yang besar. Tapi yang jelas, ia sudah terbangun dari tatapan kosong panjang yang sebelumnya menguasai dirinya.
Hening.
“Mau?” Tanya pemuda itu lagi sambil menyodorkan sebuah bungkus besar berisi permen tepat ke sisi kiri badan Kurt.
“Oh…ya. Makasih.” Kurt dengan ragu menjawabnya, dan akhirnya mengambil sebungkus kecil permen dari bungkus tersebut.
Hal serupa dilakukan sang pemuda setelah itu. Mereka mulai membuka bungkus kecil tersebut, mengambil isinya, lalu memasukkannya ke dalam mulut masing-masing.
Keduanya mengunyah, dan hal yang menarik terjadi pada Kurt yang raut mukanya, terutama di bagian mulutnya, menjadi bergejolak akibat permen yang dikunyahnya mengingat jauh sebelumnya di mukanya yang berkulit pucat tersebut hanya terpampang raut muka yang datar dan mati.
“Apa kau tahu jadwal kedatangan kereta terakhir ke arah selatan?” Lagi-lagi segalanya dimulai dengan pertanyaan pemuda yang berparas manis serta ramah tersebut.
Sebagai reaksinya, Kurt menggeleng sambil berkata singkat, “Tidak.”
“Hmm… kalau tidak salah sekitar jam 5 seperempat-an. Kalo tak salah. Sudah lama tak naik.” Tutur pemuda tersebut seakan bercerita pada dirinya sendiri.
Kurt, walaupun ia tetap pada posisi awal di tempat duduk itu, keberadaan permen di mulutnya serta kehadiran pemuda asing disampingnya tersebut menjadi pemicu akan hidupnya kembali jiwa yang sebelumnya tersasar di dalam dunia awang-awang yang tak dikenal. Ia memang tidak mengeluarkan potongan-potongan kata yang panjang dan basa-basi, namun dari matanya, kau bisa melihat bahwa ia telah hidup.
Hening.
Namun tak sehening saat Kurt masih duduk seorang diri.
Pemuda asing itu terlihat bosan di atas bangku tersebut. Ia mulai gelisah. Dan lagi, ia membuka sesi pertanyaan kembali pada Kurt sebagai obat penyembuh kegelisahan serta kebosanannya di tengah stasiun yang terlihat makin suram akibat semakin berkurangnya pasokan sinar matahari yang sudah semakin condong ke peraduan.
“Hey… Kau sendirian?” Tanyanya lagi kepada pemuda disampingnya yang baru saja menghabiskan sisa terakhir potongan kecil permen di dalam mulutnya tersebut.
“Yap. Sendiri.” Jawab Kurt datar tanpa memandang ke arah sang penanya.
“Menunggu seseorang…atau kereta?” Tanya pemuda itu lagi.
Tak ada jawaban langsung. Cukup lama waktu yang dihabiskan Kurt untuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan itu.
“Aku tidak tahu. Tidak dua-duanya yang pasti.” Akhirnya Kurt menjawab sambil menoleh kepada si penanyanya tersebut.
Cukup lama ia menoleh dan memperhatikan sosok pemuda yang dari tadi berada disampingnya tersebut. Hingga sampai ia selesai mengucapkan kata terakhirnya, matanya masih terarah pada pemuda tersebut. Sang pemuda asing membalas tatapanya sekilas lalu kembali menghadap arah bantalan kereta dihadapannya yang jelas semakin terlihat suram dan gelap dibanding saat awal ia tiba di tempat itu.
Kurt yang tersadar akan tatapan panjangnya tersebut pun langsung kembali menghadap depan persis seperti yang jauh sebelumnya sang pemuda itu lakukan.
Setelah berselang cukup lama, pemuda itu kembali bertanya, “Maksudmu? Lalu, apa yang kau lakukan disini?”
Kurt tak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah sang pemuda tersebut sesaat lalu kembali mengarah ke depan dengan tegap.
Lalu hanya hening.
Tidak ada lagi yang memulai pembicaraan.
Masih hening.
Dan diam.
“Kau seorang tentara…atau semacamnya?” Kurt akhirnya memecah kesunyian panjang tersebut dengan pertanyaan yang sama sekali tak berbasa-basi.
Sang pemuda yang semula menatap Kurt secara spontanitas berusaha menjawab. Namun tak satu katapun yang keluar. Akhirnya, dengan kembali menatap bantalan di hadapannya, dengan mata menerawang, ia hanya bisa mengangguk kecil. Anggukan yang hampir tak terlihat apabila Kurt tidak menatapnya panjang.
Tidak bisa dipungkiri. Penampilannya yang manis serta perawakan yang kecil ternyata tidak selamanya menjadi pengecoh akan identitas aslinya. Setelan jaket hitam yang tengah dikenakan pemuda tersebut tak bisa menyembunyikan setelan dibaliknya yang merupakan seragam khusus kesatuan pembela negara tersebut.
Kurt termangu. Namun tak melamun. Ia hanya kaget dan kagum karena alasan yang tak bisa dideskripsikan.
Dari sini segalanya berubah. Lamunan tak beridentitas itupun seluruhnya melayang dari diri dan kepala Kurt. Yang ada hanya rona merah baru yang menghiasi wajah berkulit pucatnya tersebut, serta senyum kecil sebagai tanda ia telah menerima suatu kebahagiaan kecil di realita ini.
Hening kembali. Dan waktu terus berlalu.
Stasiun lambat laun semakin ditinggalkan oleh para pendatangnya yang tadinya ramai hilir mudik. Tapi yang tersisa pasti di tengah semakin minimnya orang-orang disana hanyalah dua sosok pemuda di bangku panjang , dihadapan bantalan rel kereta yang semakin menghitam bagai terbakar matahari yang tak kenal lelah.
Ini sudah melampaui 5.15. Waktu yang telah ditentukan oleh pemuda asing yang masih terduduk di samping Kurt untuk meninggalkan stasiun ini. Namun tak terjadi apa-apa. Tidak ada tanda-tanda kereta yang datang dan membawanya. Jadi semuanya masih seperti biasanya.
Keheningan masih berlanjut dan saat ini angin malam mulai datang menghampiri dan mengisi tiap ruang-ruang bebas di stasiun yang semakin menggelap itu.
Duduk, dan masih terdiam satu sama lain. Dalam bisu, permen berikutnya dicoba ditawarkan kembali pada Kurt. Tapi kali ini Kurt menolak dengan senyuman pasti. Sang pemuda pun membungkus dan memasukkan kembali bungkusan tersebut ke dalam tas bepergian yang sedari tadi ditaruhnya di bawah.
“Aku harus pergi.” Kata pemuda itu pasti. Memecahkan keheningan yang telah terlampaui batas. Ia berkata seraya bangkit dari tempat duduk tersebut. Namun ia kembali duduk sambil terus mengangkat-angkat kepalanya. Memperhatikan sesuatu yang berada di titik ujung pandangannya. Ya. Itulah keretanya. Sang pemuda akhirnya bangkit sepenuhnya dari duduknya yang panjang itu.
Akhirnya kereta datang walaupun tidak sesuai janji yang telah ditepatkan.
Ia datang dan sang pemuda harus pergi. Begitulah hukum tiap stasiun.
Sama halnya dengan kedatangannya, kepergian pemuda itu tidak diiringi dengan perpisahan yang berarti antara dirinya dengan teman sesaat dan sebangku di stasiun itu. Ia hanya bangkit, berdiri mengamati keretanya yang lambat laun menjadi pelan untuk berhenti sepenuhnya dihadapannya, dan akhirnya menoleh pada teman berbagi permennya tadi.
Hanya senyum diantara keduanya. Namun apa artinya senyum apabila tidak didasari dengan keikhlasan yang dalam? Seperti yang telah dituturkan sebelumnya: tak berarti.
Kurt yang saat ini berada dihadapan kereta yang menjulang dihadapannya, baru saja menyaksikan kepergian teman singkatnya tersebut. Teman yang telah berbagi kemanisan, serta yang pasti telah menghidupkannya dari kehidupannya yang sempat mati di bangku stasiun tersebut.
Ia berat akan segalanya. Ia berat akan tidak adanya lagi kemanisan yang datang dari sebelahnya tersebut. Ia berat akan kembalinya ke kehidupan yang kosong seperti saat sebelum pemuda itu datang. Ia berat untuk mengeluarkan senyuman perpisahan tersebut. Tapi yang jelas, ia harus mengeluarkannya walaupun itu terpaksa.
Segalanya menjadi gelap. Baik itu kondisi stasiun yang sudah semakin larut, maupun kehidupan Kurt yang sempat bersinar sesaat.
Lalu keduanya juga menjadi dingin. Baik itu angin yang semakin kencang menghampiri tiap relung gelap stasiun, maupun relung di suatu sudut jiwa seorang Kurt yang tadinya sempat terisi oleh kehidupan yang hangat.
Kurt tak bisa menahan semua itu. Ia hanya tertunduk. Namun ia berusaha untuk menatap kenyataan. Ia mengangkat kepalanya lagi, dan langsung tertuju pada sosok yang sempat dikenalnya beberapa detik yang lalu. Sosok pemuda itu sedang berdiri di tengah lorong kereta yang terang. Berusaha mencari tempat duduk sesuai keinginannya, sampai akhirnya ia mendapatinya dan duduk nyaman disana.
Kurt melihatnya. Tapi ia hanya melihatnya tanpa adanya komunikasi. Komunikasi berupa tatapan balasan dari sang pemuda.
Eugene. Kata itu yang ditangkap kurt di atas tas yang dari tadi dibawanya yang tidak lain adalah tas almamater pemuda tersebut.
Namun, apa artinya sebuah nama kalau ia tak bisa hidup bersama sang pemiliknya? Itu tak berati. Kurt tahu itu tak berarti.
Kereta yang tengah didiami oleh sang pemuda, yang tadi masih menjulang dihadapannya, kini bersiap untuk meninggalkan peraduan singkatnya tersebut.
Masih di bangku, Kurt tak bisa berbuat apa-apa selain duduk dan kembali tertunduk.
Tertunduk. Bahkan ini melebihi kondisi yang dialami Kurt sebelum kedatangan pemuda tersebut, yaitu hanya terdiam dan terperangkap dalam lamunan belaka tanpa adanya kesedihan yang dalam.
Kurt tertunduk dan mencoba menahan sakit serta panasnya tenggorokan yang tengah menyerangnya. Mencoba mengatupkan rapat-rapat mulutnya agar semua orang yang tersisa di stasiun itu tidak menyadari akan betapa rapuhnya diri seorang pemuda yang kini tengah duduk seorang diri di tengah semakin redupnya cahaya sekitar.
Ia menengadah. Akhirnya ia berusaha untuk menerima segalanya dengan mengangkat kepalanya seperti itu. Basah. Mukanya basah dan merah di tengah keremangan stasiun. Ia berusaha mengusap itu semua. Dan, pada akhirnya, ia pun bangkit dari tempat duduknya.
Merogoh ke dalam kantong dibalik jaket sisi kirinya, tangannya akhirnya mengeluarkan secarik kertas. Tak hanya itu, ia kembali merogoh dan menemukannya; setangkai bunga.
Masih dengan raut yang penuh luka, Kurt berjalan pasti ke bantalan rel yang sedari tadi tergeletak dihadapannya. Melemparkan bunga tersebut ke atas bantalan tersebut, serta secarik kertas itu.
“Semua baik-baik saja, Ma.” Berbisik pada dirinya. “Aku. Ayah. Kami rindu kau. Itu saja.”
Kurt masih berdiri di hadapan rel yang telah dihiasi mawar tersebut. Menatapinya kosong, dan menelan ludah berkali-kali. Tapi kali ini ia bisa mengontrol dirinya dengan baik.
Lalu ia berbalik, dan melangkah pasti ke arah gerbang keluar stasiun. Meninggalkan tempat itu dan mencoba meningglkan semua yang telah terjadi di tempat itu.
Kepergian seseorang yang sangat penting dalam hidupnya semasa kecil, hingga kepergian seseorang asing yang telah menjatuhkannya ke suatu titik terlemahnya hanya dalam hitungan menit saja, dan keduanya bersama terjadi di suatu titik kepergian yang sama.
Seiring lampu-lampu stasiun mulai bersahutan menyala satu persatu, hingga bangunnya seekor kucing dari tidur panjangnya yang membuai di sudut pilar stasiun itu, semua telah Kurt tinggalkan di tengah kegelapan malam. Dan hanya itu yang ingin ia lakukan pada akhirnya.